Jumat, 26 Maret 2010

Kerusakan Tanah Parah, Berimbas pada Apel Batu




Tingkat kerusakan atau degradasi lahan perkebunan apel di Kota Batu dari tahun ke tahun semakin parah. Kerusakan struktur dan kandungan hara tanah ini tidak terlepas dari pemakaian pupuk anorganik dan obat-obatan yang tak terkontrol.
Parahnya kerusakan tanah yang cukup parah inilah salah satu yang menjadi penyebab terus menurunnya produksi apel. Untuk mengembalikan kesuburan tanah perkebunan apel tidaklah mudaj dan tentu saja membutuhkan waktu sangat lama.

Widianto, Ketua Laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB) Malang, mengatakan tingkat kerusakan yang parah itu, kondisi lahan apel di Batu tersebut diibaratkan seperti orang tua yang sudah jompo.

“Saat mudanya dulu diforsir untuk bekerja keras. Sehingga saat usia tua kondisi fisik maupun kesehatannya sudah drop sedemikian rupa fungsi-fungsi organnya,” terang Widianto.
Menurut dia, petani apel di Batu cenderung memforsir penggunaan pupuk kimia (anorganik) untuk memacu produktivitas apel pada lahan miliknya. Hal itu dilakukan secara terus menerus dalam tempo waktu yang lama.

Akibatnya lahan menjadi rusak dan tingkat kesuburannya secara bertahap menurun karena kerusakan pada struktur dan kandungan hara tanah.
Tidak hanya itu, tingkat ketergantungan lahan pada pupuk kimia juga sedemikian tinggi. Sehingga untuk mempertahankan produksinya, petani cenderung menambah jumlah pemakaian pupuk pada lahan perkebunan apelnya.

Padahal dengan kondisi lahan yang demikian ini, langkah yang harus dilakukan petani adalah melakukan perbaikan pada struktur dan kandungan hara pada tanah. Salah satunya yaitu dengan menggunakan pupuk organik, baik itu pupuk kandang atau sisa-sisa limbah rumah tangga dan pertanian (kompos).

Namun untuk mengajak petani menggunakan pupuk organik tidaklah mudah sebab hal ini tentu akan mempengaruhi produksi tanaman apel. Sebab tanaman apel selama ini mendapat perlakuan pupuk anorganik yang langsung dapat diserap tanaman. Sementara pupuk organik membutuhkan proses waktu bagi tanaman untuk memenuhi kebutuhan tanaman apel. "Tanaman apel yang ada sudah begitu tergantung pada pupuk anorganik, jadi secara langsung pemakaian pupuk anorganik akan mempengaruhi produksi buahnya," tegas Widianto.

Namun demikian untuk mengembalikan kesuburan tanah dengan beralih ke pupuk organik harus segera dilakukan petani agar secara berangsur-angsur ada perbaikan struktur dan kandungan hara tanah. Dengan kata lain penggunaan pupuk kimia juga harus mulai dikurangi secara perlahan-lahan.
Ketakutan petani apel terhadap berkurangnya produksi akibat pemakaian pupuk organik memang dibenarkan oleh sejumlah petani. Mereka secara umum belum berani menerapkan pola organik dalam waktu dekat ini, walaupun mereka telah mengikuti sekolah lapang yang digelar pihak dinas Pertanian Kota Batu dan Propinsi Jawa Timur.

Darmanto, Sekretaris Kelompok Tani Bumi Jaya II Kec. Bumiaji Kota Batu, mengatakan Batu belum siap menuju apel organik dalam kurun beberapa tahun mendatang. Hal ini karena petani memilih aman saja dalam menjaga kelangsungan produksi dari kebun apelnya.

“Kalau sekadar uji coba di lahan yang relatif kecil bisa-bisa saja. Namun kalau diterapkan kepada seluruh lahan yang ada masih sulit. Butuh waktu cukup lama menuju apel organik,” ujar Darmanto.
Kondisi lahan apel di Batu, lanjut dia, telah mengalami degradasi lahan akibat penggunaan pupuk kimia secara besar-besaran. Akibatnya lahan sangat bergantung pada pupuk kimia. Sementara kalau menggunakan pupuk organik, butuh waktu penyesuaian dan proses yang relatif panjang.

"Petani umumnya sadar bahwa semakin tahun biaya produksinya naik akibat terus bertambahnya pemakaian pupuk. Disamping itu juga harga pupuk saat ini terus naik. Tetapi untuk menggunakan pupuk organik secara total belum berani," tuturnya.
Saat ini petani lebih memilih menggunakan pola semi organik yaitu sudah menggunakan pupuk organik, khususnya pupuk kandang dan kompos, namun tetap belum meninggalkan pupuk kimia. Cara ini dipilih agar produksi apel bisa tetap dipertahankan.

"Ibaratnya kita berupaya mengembalikan kesuburan tanah, tetapi tak ingin produksi menurun. Kalau pupuk organik saja, bisa-bisa petani apel nggak panen dalam waktu satu sampai dua tahun," kilahnya.

Dia mengakui memang ada beberapa swalayan yang membeli apel organik dengan harga mahal. Namun pangsanya masih terbatas, sehingga ada kekhawatiran diantara petani apel kalau harganya nanti lama-lama disamakan dengan apel yang menggunakan pupuk anorganik.

Dengan pola semi organik ini diharapkan ke depan para petani apel sudah beralih ke pupuk organik. “Kondisi lahan untuk apel memang berbeda jauh dengan sayur mayur. Kalau sayur mayur bisa segera diterapkan pola organik. Namun kalau untuk apel masih sulit, karena tanaman apel membutuhkan adaptasi. Setidaknya hingga sepuluh tahun ke depan baru bisa diterapkan setelah kesuburan tanah kembali berangsur membaik seiring pola semi organik yang saat ini banyak diterapkan petani apel,” tandasnya.frm:sup

1 komentar:

  1. selamat majalah Pandermen meraih juara II nasional....semga kedepan makin sukses...yang memberi pencerahan dan inspirasi bagi masyarkat kota Batu

    BalasHapus